gw mau repost catatan perjalanan naik gunung cikurai kita pada tanggal 4-5 juni 2011, mau tulis tapi siy haekal dah nulis dan sangat lengkap jadi lebih baik gw repost aja diblog gw..biar ada kesamaan cerita dan waktu…berikut kisahnya :
Setelah kegagalan di Gunung Salak, sebenarnya agak ragu jadinya mengajak banyak teman. Sempat terfikir untuk jalan dengan tim inti saja (Saya, istri, Yurdian, Amri), tapi setelah difikir-fikir, gak enak juga sama anggota lain yang sudah membeli peralatan mahal-mahal (lebih mahal dari peralatan saya
), kalo tidak digunakan. Jadilah saya akhirnya mengajak yang lain juga (yang ikut pendakian Gunung Salak). Tapi pada final moment, akhirnya saya memutuskan (setelah diskusi dengan Yurdian) untuk membroadcast undangan ke seluruh teman kantor. Walaupun ternyata yang ikut tetap saja sebagian anggota yang ikut waktu ke Gunung Salak (Yurdian, Amri, Imron, Wahyudi). Istri saya malah tidak ikut dengan alasan ribet ke kantor saya
(padahal saya tiap hari ke kantor, gak ngerasa ribet tuh 😛 )
Jumat, 3 Juni 2011, akhirnya kami berangkat ke arah Garut dari Menara Thamrin after office hour. Setelah mempertimbangkan berbagai alternatif, akhirnya kami menaiki patas dari seberang Sarinah, langsung menuju Kp Rambutan. Dari situ, kami naik bus Primajasa (35.000) ke arah Garut. Spoiler sebentar, pulangnya kami naik bus Karunia Bakti yang eksekutif. Harga beda tipis (45.000), tapi waktu tempuh jauh berbeda (6 jam dibanding 3 jam setengah). Jadi, saya sarankan naik Karunia Bakti saja biar cepat.
Dari Kp Rambutan sekitar pukul 19.00, sampai di Terminal Guntur pukul 01.00. Alias persis 6 jam! di jalan, ada yang jualan headlamp seharga 15.000! tergoda banget untuk beli, tapi entah kenapa gak jadi. Amri dan Imron beli satu-satu. Nih headlamp bakal jadi isu panas di pendakian nanti
Sampai di terminal, kami makan malam dulu di jongko seberang terminal, terus langsung sholat + istirahat di masjid yang ada di terminal, termasuk MCK di sekitar situ juga lumayan lengkap lah, fasilitasnya.
Waktu sedang makan, kami bertemu dengan Pak Abraham, anggota TNI di Garut, yang menawarkan tumpangan kepada kami. Awalnya naik ojek 50.000 dari terminal ke pemancar, akhirnya disepakati sewa mobil kijang 200.000 dari terminal ke pemancar dengan opsi pulangnya dijemput di pemancar ke terminal dengan ongkos 250.000. Deal tercapai. Pak Abraham berjanji untuk menjemput kami di masjid tempat kami menginap sekitar pukul 05.00 after subuh. Kami pun beranjak tidur. Sebelum tidur, saya mengisi stock air sekalian nyoba water bladder yang baru dibeli berbarengan dengan rompi tentara di Cilandak. Sayangnya, tutup water bladder tersebut bocor… jadinya gak bisa dipake deh Amri, yang juga baru beli water bladder, ngetawain saya sambil bilang, “harga gak bakal bohong…” (berhubung sebelumnya saya ngetawain Amri yang beli water bladder saja seharga 150.000 sementara saya beli rompi + water bladder seharga 125.000). Nih soal water bladder juga bakal jadi isu panas lainnya pada saat pendakian.
Setelah tidur + sholat subuh, saya memaksakan diri untuk mandi di MCK umum di terminal. Selain untuk membersihkan keringat + daki yang mulai mengubur saya, juga untuk berdamai dengan dinginnya kota Garut (logikanya, agar tubuh tidak terus menerus kedinginan, dihajar saja dengan dinginnya air mandi, nantinya dingin udara terasa lebih hangat ketimbang dingin air mandi it’s work…. So, try it : )
Beres semua, pukul 05.30 kami mulai berangkat dengan menggunakan mobil kijang Pak Abraham. Dari awal kami sudah menanyakan apakah mobil tersebut kuat mencapai pemancar yang dari catper2 yang kami baca, jalurnya bisa bikin rantai motor ojek putus! Pak Abraham meyakinkan kami bahwa dia sering ke sana, jadi kami percaya mobil tersebut memang seperti iklannya, “Kijang, memang tiada duanya”
Sampai di PT Perkebunan Nusantara VIII di Dayeuhmanggung sekitar pukul 07.00.
Dari sejak belokan jalan raya, jalan menuju perkebunan sudah hancur lebur! Naik mobil sudah seperti naik kuda liar, melonjak dan menanjak, membuat kami tersentak… Tidak berapa lama (terasanya sih lama, karena kualitas jalannya), kami sampai di pos satpam perkebunan. Di situ, saya disuruh mendaftar serta bayar 5000 rupiah (3000 untuk kendaraan, dan 2000 untuk orang).
Pertigaan pertama setelah pos satpam, tindakan Pak Abraham sudah mulai mencurigakan, beliau menanyakan arah menuju pemancar ke anak-anak sekitar situ. Lah? Katanya sudah sering ke pemancar, pak? Benar saja, sepanjang jalan, kita akhirnya bertanya-tanya ke tukang teh yang berkeliaran di perkebunan teh ( ) mengenai arah menuju pemancar. Jalannya itu lho! Jurang, jalan hancur, tikungan tajam, sempit (Cuma muat satu mobil), dan semua kualitas negatif yang bisa difikirkan oleh sebuah jalan untuk bisa dilekatkan pada dirinya…
untungnya, pemandangan perkebunan teh yang menghampar di tengah perbukitan dan kaki Gunung Cikuray sangat-sangat membantu untuk melupakan jalan yang sedang kami lewati. Sampai di sebuah tanjakan terakhir sebelum pemancar…
Secara mobil kijangnya pun mobil tahun 90an, jaman-jaman Air Supply sedang jaya-jayanya, akhirnya beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya di tanjakan tersebut. Sudah didorong, diberi nafas buatan, si mobil tetap ngotot untuk mati. Gak mau hidup lagi untuk kemudian di-abuse seperti kisah hidupnya selama ini. Akhirnya kami pun turun di sekitar 2 kilo sebelum pemancar. Secepatnya bayar ongkos biar kami bisa secepatnya lepas tangan dan tidak ikutan dorong-dorongan mobil lagi, kami melepas kepergian Pak Abraham dengan pemikiran bahwa mungkin ini kali terakhir kami melihat beliau
Sampai di pemancar pukul 07.30 dengan kondisi sudah rebutan oksigen plus pegel dorong mobil seberat 1 ton (bener gak sih, kijang beratnya 1 ton?), kami memutuskan untuk istirahat dulu tepat sebelum jalur pendakian yang membelah perkebunan teh. Sementara Imron memutuskan untuk bertindak lebih, ia memutuskan untuk meninggalkan oleh-oleh berupa pupuk alami di sekitar situ (habis satu botol aqua sendiri untuk keperluan beliau tersebut ). Dengan bayangan tidak ada lagi sumber air di sepanjang pendakian, habisnya satu botol aqua untuk sebuah kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan di MCK umum sebelum pergi, seperti melihat orang yang menggunakan lembaran uang jutaan rupiah untuk bakar rokok
Pukul 08.00, kami memulai pendakian. Pukul 08.10 kami sudah istirahat lagi wkwkwkwkwk. Saya dengan Yurdian berdiskusi panjang lebar (sekitar 1 menit) mengenai alasan kenapa bisa sejelek ini staminanya, akhirnya kami simpulkan bahwa mungkin karena kami memang sudah tua, sudah saatnya mewariskan semua ini ke anak-anak kami alternatif selanjutnya, adalah kemiringan yang lumayan tinggi plus badan yang belum beradaptasi.
Sekitar 1 jam kami menikmati hamparan perkebunan teh yang begitu indah. Sampai akhirnya tiba juga di perbatasan perkebunan dengan hutan. Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada peradaban, tekhnologi, dan semua jenis kehidupan yang kami tahu (alay dikit ).
Vegetasi awal hutan adalah semak. Pukul 10an kami memutuskan bahwa makan sedikit mungkin bisa menambah stamina yang mulai mirip aki-aki begini. Kebetulan ada ruang lapang yang mengundang, jadilah kami sarapan/makan siang di situ. Nasi bungkus plus telor asin yang dibeli di terminal pun dibuka.
Setelah makan siang/sarapan, kami meneruskan perjalanan. Jalurnya itu lho… konsisten banget nanjaknya! Dengan kemiringan sekitar 40 derajat dan akar yang melintang kesana kemari, kami akhirnya membagi 2 kelompok. Kelompok pertama (yurdian + amri) jalan duluan, kelompok kedua (imron, wahyudi, dan saya sebagai sweeper) jalan belakangan. Komunikasi dijaga oleh walkie talkie motorola saya, hasil bonus terakhir
Di tengah jalan, ada kejadian kocak. Amri, yang sedang semangat-semangatnya menggunakan water bladder baru seharga 150 ribu, kebingungan karena baru ngisi kok sudah habis lagi. Setelah dicek, ternyata water bladder beliau juga bocor! Dan kocaknya, nih Amri entah kenapa punya semacam obsesi untuk memasak agar-agar di puncak gunung nah, berhubung waktu di Gunung Salak agar-agar beliau kehujanan, jadinya acara bikin agar gak jadi. Belajar dari pengalaman, pada pendakian kali ini, agar-agar tersebut dibungkus pake plastik. Jadi pas water bladder beliau bocor, dengan sangat lega beliau melihat bahwa agar-agarnya aman. Cuma lucunya, mengamankan agar-agar justru lupa mengamankan sleeping bag sleeping bag beliau malah tidak diplastikin, jadilah bocoran water bladder membasahi sleeping bag. Jadilah malam nanti beliau tidur Cuma dengan menggunakan sarung lebih memprioritaskan obsesi bikin agar ketimbang mengamankan sleeping bag…. Kami Cuma bisa bingung aja dah sama kelakuan si Amri
Pukul 11.30, kami sampai di pos 2. Di situ, kami bertemu tim SAR freelance yang dipimpin oleh bapak Yudi. Mereka sudah ngecamp selama 6 hari (!!!) untuk melakukan pencarian terhadap Reni yang sudah hilang dari tahun 2009. Menurut mereka, paling tidak, kerangka diharapkan bisa ditemukan. Daerah penyisiran adalah sekitar bagian barat dari puncak bayangan sampai pos 2. Dari mereka juga kami baru tahu bahwa sebenarnya, on the worst case, di dasar lembah/jurang sebelah kanan jalur (bagian barat), ada sungai + mata air yang bisa dijadikan sumber minuman. Cuma berhubung jalurnya benar2 mesti melewati tanah vertikal (90 derajat), maka kami memutuskan untuk mengambil filosofi “mengetahui tidak harus berarti mencoba “
Berhubung base camp tim SAR tersebut begitu nyaman, dengan api unggun, berbagai makanan (ada cabe sekarung!!! Mereka bawa makanan satuannya karungan ), kopi, dan sepeda (!!!!!!),
kami memutuskan untuk ISOMA selama 1 jam di situ. Enak banget, saya sampai tergoda untuk buka camp aja di situ untung masih ada Amri yang masih waras untuk melanjutkan perjalanan. Setelah sholat dzuhr berjamaah, saya bertemu dengan rombongan yang bareng dengan saya di Papandayan! Mereka sudah dalam perjalanan turun. Bayangkan! Kok bisa-bisanya orang-orang yang tidak saling mengenal bisa bertemu di waktu yang sama, gunung yang sama. Kalau cewe mungkin saya udah nyangka kami berjodoh dan menikah aja sekalian berhubung cowo, maka kami pun memutuskan untuk saling mengangkat saudara dengan saling berbagi darah (more alay ), dari mereka kami tahu bahwa hari kamis-jumat memang sudah banyak yang naik Cikuray memanfaatkan waktu libur panjang.
Pukul 12.30 kami melanjutkan perjalanan dengan informasi bahwa besok tim SAR akan menunggu kami sampai pukul 12.00 siang untuk ikut truk yang mereka sewa ke bawah. Makin nanjak, makin miring. Beneran deh, buka bisnis kereta gantung di sini dijamin gak bakalan rugi!
Pukul 13.30 kami sampai di puncak bayangan. Pos terakhir sebelum puncak. Baca catper orang sih, katanya 2,5 jam lagi dari sini. Dan melihat sisa perjalanan (dari puncak bayangan, puncak cikuray terlihat seperti bukit sendiri ) waktu segitu sih normal. Istirahat 15 menit, giliran saya yang di depan barengan sama Yurdian.
Niat awal mau lari ke puncak, terus mendirikan tenda di sana, setengah perjalanan tiba-tiba saya diserang ngantuk luar biasa. Akhirnya saya menyuruh Yurdian untuk naik duluan. Sementara saya duduk dulu di batang pohon tumbang yang ada di sebuah tikungan. Duduk sebentar, saya benar-benar terkantuk-kantuk. Setelah hampir ketiduran, saya teringat ajaran dari Mas Faisal, senior di Artajasa, bahwa ketiduran sewaktu naik gunung bisa mengakibatkan kematian pada pendaki. Saya pun memutuskan untuk mengambil biskuit dan mengunyahnya sambil berjalan, sekedar untuk menjaga agar saya tidak ngantuk saja. Nah, tidak berapa lama, muncul lah kejadian aneh. Pada sebuah titik, dari sebelah kanan saya, tiba-tiba tercium bau bangkai yang sangat menyengat. Langsung dong, ingat sama Reni Mana pas lagi sendirian pula… saya langsung baca ayat kursi berulang-ulang, dan anehnya baunya hilang! Jiaaaaah……. Horor banget daaaah…… 😥 akhirnya tuh ayat kursi gak berhenti dibaca sampai puncak.
Sekitar pukul 16.00 akhirnya saya sampai ke puncak. Cuaca cerah! Tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin. Dari faktor cuaca, jalur perjalanan yang kering, perjalanan kali ini benar-benar terasa berkah! Tadinya kami akan buka tenda pas di puncaknya (sebelah shelter), tapi berhubung seram dengan faktor angin + kemungkinan petir kalau hujan nanti, akhirnya kami memutuskan untuk turun sedikit dan mendirikan tenda di tanah lapang setelah puncak. Sekitar 5 meter di bawah puncak
.
Aaaah…. Subhanallah, alhamdulillah, betapa lega sampai di puncak dalam satu kali pendakian. Sayangnya cuaca sedang agak berkabut, jadi pemandangan tidak begitu terlihat. Tapi suasana puncak benar-benar menghadirkan rasa achievement yang begitu memuaskan
Setelah tenda didirikan, tidak berapa lama, rombongan kedua pun tiba. Amri dengan berbagai obsesi makanannya membuka paket McD yang beliau bawa dari kantor sementara saya langsung buka paket kopi… ngopi di puncak Cikuray. Btw, sleeping bag Amri tidak tertolong lagi. Basah…. Walau pun sudah dicoba dijemur, tetap saja.
Setelah sholat ashar, kami kembali ke puncak. Sayang cuaca benar-benar berkabut saat itu, jadi tidak terlihat sunset. Kami pun balik ke kemah dan mencoba bikin api unggun, tindakan yang selama ini tidak pernah kami lakukan karena selalu saja sampai puncak dalam keadaan hujan
Setelah menerima kenyataan tidak akan terlihat apa pun dalam kondisi berkabut ini, setelah sholat magrib, kami memutuskan untuk tidur saja.
Tengah malam, Amri (atau Yurdian?) terbangun dan membangunkan kami naik lagi ke puncak, dan menikmati hamparan bintang-bintang yang begitu jelas terlihat. Sedemikian jelasnya, sampai galaksi pun terlihat dalam bentuk hamparan serbuk kerlap-kerlip yang membentuk pita di atas langit. Bintang jatuh terlihat sekitar 7 kali. Kami duduk-duduk menikmati pemandangan tersebut di tengah dingin yang begitu menggigit selama sekitar 1,5 jam sebelum meneruskan tidur. Pada saat inilah, ternyata senter 15 ribu yang dibeli pas pergi tadi terlihat begitu perkasa. Terangnya itu lho! Mantabs…. Mengalahkan senter seharga 35 ribu-nya Yurdian, sementara senter 10 ribu saya yang saya beli di Indomaret sudah mati sejak awal . Rupanya tampang ngiler saya begitu keliatan sehingga teman-teman menggoda saya untuk beli seharga 50 ribu dengan alasan kelangkaan barang dan urgensitas
Pukul 03.00 pagi, kami naik lagi ke puncak. Kali ini, bintang tidak begitu terlihat, tapi gantinya, hamparan bintang di bawah (lampu-lampu kota Garut) yang menghampar tidak kalah indahnya… takut tidak kuat bangun pas sunrise, pukul 04.00 kami tidur lagi.
Pukul 05.30, saya terbangun dan langsung teringat sunrise. Sholat subuh, langsung lari ke puncak. Amri, Yurdian, Wahyudi sudah dari tadi nongkrong. Untung sunrise belum selesai. Sehingga saya masih bisa menikmati keindahan mentari yang muncul di tengah lautan awan di bawah kami. Terpaku melihat keindahan yang terpapar begitu gamblangnya, dengan beberapa gunung lain yang terlihat mengelilingi Cikuray.
Setelah sunrise, kami sarapan dengan brutal. Semua bahan makanan yang selama ini memberati tas kami, kami tumplekin semua dengan harapan turun bisa lebih ringan. Ternyata makanan begitu berlebih. Tersisa begitu banyak, sehingga saya berfikir pendakian selanjutnya masalah makanan ini harus benar-benar diatur.
Pukul 07.00, mulai packing untuk pulang.
Pukul 08.00 setelah melakukan sesi pemotretan terakhir di puncak, kami mulai turun. Baru berapa meter, Wahyudi sudah terjatuh di daerah bebatuan. Darah mengalir, suasana mencekam, Yurdian berteriak, dari kejauhan theme song film horor terdengar (alay n alay again ). Saya pun mempraktekkan P3KH (pertolongan pertama pada kecelakaan hiking ) dengan cara membalut luka Wahyudi dengan perban, kapas, tensoplast, betadine, pokonya apa yang ada dah. Dengan cara membalut sudah seperti menambal bak mandi yang bocor more selotip than perban/betadine. Sing penting nempel
Korban pendakian
Perjalanan pulang jauh lebih cepat laah. Saya dan Amri kelompok depan. Awalnya sih kami berlari turun. Setelah kaki saya terserimpet akar dan seperti terkilir, kami mulai jalan cepat. Cepat-cepat karena hendak mengejar waktu pukul 12.00 sampai di bawah agar bisa numpang truk tim SAR. Sampai di pos 2, hal yang kami takuti pun terjadi, tim SAR sudah turun! Setelah puas meraung-raung dan menangis putus asa, kami memutuskan bahwa hidup harus terus berjalan. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Pukul 11.00 sudah sampai di perbatasan perkebunan dengan hutan. Istirahat 30 menit di situ karena menunggu rombongan belakang bergabung. Kaki saya sudah begitu lemas dan dengkul pun sudah tekor alias sakit. Setelah rombongan belakang bergabung, kondisi Wahyudi terlihat semakin mengenaskan. Saya dan Amri pun kembali di depan untuk mengejar tim SAR. Tapi berhubung saking lemasnya saya pun sudah tidak sanggup lari lagi, kami akhirnya jalan biasa. Dan itu pun saya masih sering jatuh terguling-guling karena kaki kiri yang sudah tidak bisa menopang berat badan lagi pas turunan. Hebatnya, si Amri terlihat masih kuat-kuat aja.
Saya sampai mengecek belakang kepalanya, siapa tau ada baut gitu, tanda yang mengesahkan kecurigaan saya bahwa beliau bukan manusia
Akhirnya, pukul 12.00 tepat, sampai juga di pemancar. Tim SAR sudah ada di sana. Ternyata, truk yang hendak kami tumpangi pun masih dipakai untuk mengangkut pasir! Perkiraan truk sampai pukul 1 sampai 2 siang. Jiaaah… tau gitu sih, gak usah lari-lari daaah….
30 menit kemudian, berita dari Yurdian via walkie talkie bahwa Wahyudi sudah tidak bisa jalan lagi. Jadilah Amri, saya, dan 3 orang dari tim SAR menyusul ke atas. Pertamanya sih lari, kemudian jalan, kemudian duduk napas abis, paha lemas, dengkul sakit! Saya duduk saja di puncak sebuah bukit, dan menunggu tim penjemput dari kejauhan terlihat Wahyudi yang dipapah. Setelah sampai di tempat saya duduk, gantian saya yang memapah. Tidak berapa lama, untuk mempercepat perjalanan turun lagi, Amri menggendong Wahyudi!!!!! Beneran ni orang sih, bukan orang… mungkin semacam terminator yang diutus dari masa depan untuk mencegah kiamat?
Sampai lagi di pemancar, kami istirahat lagi, sementara Wahyudi dirawat oleh perawat seksi berambut bule (or itu yang saya boongin pada beliau agar semangat pas turun ). Terlihat bedanya perawatan P3KH amatir seperti saya dengan perawatan tim SAR. Paling tidak, versi balut membalutnya jauh lebih rapi laaah….
Sampai pukul 14.00, datang berita bahwa truk tidak bisa lewat karena ada mobil kijang (!) yang mogok dan menghalangi jalan terpaksa lah kami jalan ke arah mobil mogok tersebut untuk menjemput truk. Benar saja kecurigaan kami, kijang yang mogok tersebut adalah mobil Pak Abraham yang mengantar kami naik. Rupanya dari kemarin, tuh mobil ditinggal begitu saja setelah mogok! Butuh jalan 1 jam sendiri untuk mencapai titik mogoknya mobil. Makin terasa sakit dengkul saya…
Akhirnya, pukul 16.00 truk datang dan mengangkut kami ke Polsek, tempat Tim SAR memberi laporan. Pukul 20.00 kami naik Kurnia Bakti ke arah Jakarta, pukul 24.00 sudah sampai di Pasar Rebo. Sangat disarankan naik ini saja, jauh lebih cepat ketimbang naik Primajasa yang butuh waktu 6 jam.
Overall, pendakian kali ini adalah pengalaman pertama saya:
– Camp di puncak
– Bikin api unggun
– Lihat sunrise di puncak
– Lihat galaksi
– Lihat orang non manusia gendong orang turun
– Merasa sakit + lemas pas turun (mungkin karena jalur turun yang tidak ada pohonnya sehingga beban sepenuhnya ke kaki tanpa ada bantuan tangan untuk menahan?)
– Bertemu tim SAR
– Merawat kecelakaan pendakian (harus belajar lebih banyak rupanya)
– Mencium bau misterius
– Melihat orang yang lebih mengutamakan keamanan agar-agar (btw, pada pendakian kali ini pun, Amri gagal bikin agar di puncak ) ketimbang sleeping bag
sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9187617